Ijtihad Maqoshidi
.
yang apabila kita ambil salah satu tulisan, yang berkaitan dengan ijtihad itu, misalnya Musa Tuwana di dalam disertasinya
سيد محمد موسى توانا الأفغانستاني
al ijtihad, wa madaa hajatunaa ilaihi fi hadzal 'ashr.
الاجتهاد ومدى حاجتنا إليه في هذا العصرBeliau membagi persyaratan ijtihad itu dengan sistematika yang luar biasa. Kemudian dilanjutkan oleh muridnya, namanya Muhammad Nuruddin Al Khodimi
نور الدين بن مختار الخادمي
الاجتهاد المقاصدي حجيته ضوابطه مجالاته
yang nanti menjadi pembicaraan kita disini sebagai tokoh yang menawarkan istilah ijtihad maqooshidi. Kemudian nanti ada dua orang lagi dari Jami'atul Imam Muhammad bin Sa'ud Al Islamiyah di Riyadh, satu namanya Yaqub abdul wahab bahusain, kemudian yang satu lagi abdul aziz abdul rohman bin robi'ah. Nah keempat tokoh ini ( Musa Tuaana, Muhammad Nuruddin Al Khodimi, Yaqub Abdul Wahab, dan Abdul Aziz Abdurrohman) menawarkan, bahwa maqoshid itu sudah menjadi ilmu yang mandiri, ilmu yang mandiri artinya dengan segala fasilitas, persyaratan sebagai satu disiplin ilmu itu sudah dipenuhi.
Cuplikan Video bisa kalian saksikan disini, temen2..
Abul Maqooshid
.
Nah kita lihat nanti dari sejarah, jadi para tokoh sering tidak mengungkap sejarahnya, tau2 muncul saja tokohnya yang disebut dengan istilah Abul Maqooshid, al Imam Abu Ishaq Asy Syatibi al maliki rohimahulloh yang wafat 790H. Disini sering salah bahwa orang mengatakan yang syatibi ini sama dengan Syatibi yang pakar dalam ilmu qiroat. Padahal yang dalam ilmu qiroat itu, Abul Qosim Asy Syatibi, yang wafat 590 hijriyah. Jadi 200 tahun bedanya. Sama kesalahan juga sering kita temukan dalam pembahasan, atau pembicaraan2 ketika berbicara tentang Ibnu Katsir, Ibnu Katsir sebagai mufassir, itu kadang2 disamakan dengan Imam Qiroat Sab'ah.
Cuplikan Video bisa kalian saksikan disini, temen2..
Sama seperti al Imam Al Haromain, saya sering tanya ke mahasiswa saya, Imam Haromain yang al Walad atau al Walid? Karena ayahnya juga Imamul Haromain disebut, Muhammad Abdul Malik Al Juwaini, yang wafat 438H. yang anaknya Abul Ma'ali abdul malik al juwaini 478H.
Tasrif dari kata walada ولد |
Nah yang berbicara tentang
- Al Qowaid Fiqhiyah, قواعد الفقهية
- Al Jam'u wal farqu,
- kemudian al furu' al fiqhiyah,
itu adalah al walid, bukan al walad. Nah yang al walad inilah yang membahas tentang maqoshid ini. Tapi beliau menyebutnya dengan istilah maslahah. Nah nanti kita akan jelaskan melalui bukunya al burhan fi ushulil fiqh.
Imam Asy Syafi'i
.
Nah perjalananya, dari sejarah perkembanganya kita lihat memang Imam Asy Syafi'i itu memang tokoh pertama yang berbicara tentang maqoshid, tapi dengan istilah maslahah.
Cuplikan Video bisa kalian saksikan disini, temen2..
Nah tokoh2 berikutnya memang tidak kita temukan istilah maslahah, tidak kita temukan istilah maqoshid, kita temukan istilahnya itu beragam dia. Kalau kita mulai daripada tokoh Al Hakim At Tirmidzi, itu menyebut tulisanya itu dalam bukunya itu maqoshiduha itu asroruha, illuhaa, dan seterusnya. Nah ketika kita berbicara yang disebut dengan maqoshid itu adalah tujuan, maka kita temukan ada
- al ghoyah,
- ada al hadab,
- ada al illah yang disebut dengan ta'lil,
- ada juga istilah asror,
- ada juga nanti yang disebut dengan istilah yang lain.
Nah kita temukan itu dalam perjalananya begitu bervariasi.
Cuplikan Video bisa kalian saksikan disini, temen2..
Tokoh Syi'ah di dalam Maqashid
.
Nah di tengah2 perjalanan itu juga, itu dikatakan bahwa dari dua tokoh syi'ah juga punya peran juga di dalam perkembangan maqoshid ini, kita temukan misalnya Al Amiri, yang waafat 381H. Ada lagi yang namanya babawei bin soduk itu juga punya peran di dalam pengembangan maqosid.
Imam Al Ghozali
.
Nah setelah tokoh2 itu kalau kita ringkaskan, itu masuklah yang disebut dengan Imamul Haromain itu. Imaamul haromain itu sudah disebut maslahah dia, sudah menyinggung yang disebut namanya hajiyat, dhoruriyat, tahsimiyat, di dalam al burhan fi ushulil fiqh.
Dilanjutkan oleh muridnya, itu al Imam Al Ghozali rohimahulloh. Imam Al Ghozali di dalam bukanya berbicara Al Musytasfa, kemudian syifaul gholil, masailut ta'lil. al mankur, nah dilanjutkan dengan tokoh2nya kalau kita ringkas itu muncullah yaitu al imam Ar Rozi dalam bukunya al mahshul fi ushulil fiqh. Nah kadang2 disini ini ada yang mengatakan agak terputus gitu. Setelah itu al Amidi, ini kadang2 dilepaskan tokohnya itu dan dialihkan fi ushulil ahkamnya yang meninggal 631H.
Ibnu Abdis Salam
.
Kemudian muncul lagi setelah itu Ibnu Abdis Salam, yang dikenal dengan sulthonul ulama ummul quro, makkah al mukarromah. Dibagi dua memang dia, dia syukbah far-an fiqh wal ushul. Ada syukbatul fiqh ada yang syukbatul ushul. Orang yang syubahnya ushul, dalam penulisan karya ilmiah, disertasinya dia boleh menulis fiqih. Tapi orang yang syukbahnya syukbatul fiqh, tidak boleh dia menulis ushul fiqh. Begitu apa? begitu ketatnya, nah kemudian ketika kita berbicara maqoshid sebagai bagian persyaratan penting, maka ada lagi persyaratan2 ijtihad itu yang pokok, yang asasiyah, nah itu lah
- Ma'rifatu bil quranil karim, wal ulumu muta'alliqo bihi
- Ma'rifatu bis sunnah an nabawiyah wal ulumu muta'alliqo biha.
- Ma'rifatu bi lughotil arobiyah wal ulumu muta'alliqo biha,
- kemudian ma'rifatu bil qowaid al kulliyah, fiqhiyah wa ushuliyah.
Kalau yang takmiliyah itu sebetulnya penyempurna disitu, menjelaskan kepada kita yang disebut dengan majalul isjtihad, ruang lingkupnya. Maka persyaratan pertama yang takmiliyah, sebagai penyempurna itu. Ada maujulin nash in qothi, fil masalah. Kenapa? karena majalul istihad, kata imam al amidi, maa kana daliluhu dzoniyan, Wa inkaana qothiyan, fa laa. Nah baru kepribadian, jadi mujtahid itu adalah sosok yang memang dia menekuni dalam masalah2 fiqh, mengetahui dengan baik, mana yang disepakati, mana yang diperselisihkan. Baru kembali kepada kepribadianya, sholahul mujtahid wa taqwahu. Jadi kesholihan, ketaqwaan tergambarkan ke dalam sosok pribadi daripada seorang mujtahid itu.
Nah kalau kita kaitkan dengan al ijtihad al maqosidi, ini adalah tawaran dari seorang nuruddin al khodimi. Dia sebutkan al ijtihad al maqosidi, disebutkan di dalam bukunya itu ada hujjiyatuhu, ada dhowabituhu, kemudian majalatuhu. Beliau ini kelahiran tahun 63, kalau umur mungkin kita lebih tua, mungkin Gus Baha mungkin seumur dengan itu, kalau saya kelahiran 54, jadi ada beda 10 tahun. Tapi beliau ini memang orang yang gigih memperjuangkan maqosid ini, sehingga dalam qowaid al fiqhiyah juga, dalam bukunya al muyassar, itu qowaid al fiqhiyah itu disebutkan dengan istilahnya Al qowaid al maqosidiah. Jadi bukan pakai istilah qowaid fiqiyah ushuliyah, dan istilah2 lain itu, dia make istilah al qowaid al maqosidi. Nah berbicara ijtihad maqosidi, setelah kita jelaskan tadi, apa yang disebut dengan istilah ijtihad. Ijtihad maqosidi ini lebih ditekankan ijtihad untuk fiqhun nawazil, yang sifatnya itu adalah masalah2 baru (kontemporer) yang secara nash tidak ada. Maka para ulama membuat satu aturan, bagaimana menetapkan thuruqu itsbatil maqosidi itu. Jadi ada empat paling tidak, yang harus dikuasai, jalurnya itu adalah
Al Amru wan Nafyu Al Ibtidai wa tashlihi. Kita yakini bahwa kalau ada perintah, pasti di balik perintah itu ada mashlahatnya. Ada larangan, pasti dibalik itu ada kerusakanya. Maka pembahasan al amru, wan nahyu, al amru wa dhilalatuhu, an nahyu wad dilalatuhu ini menjadi satu pembahasan ushul fiqh yang luar biasa.
Ta'lilul ahkam, jadi ketika kita berbicara tentang istilah maqosid, dia tidak bisa lepas dengan istilah maslahah, berbicara dengan maslahah tidak mungkin kita lepaskan dengan al 'illah. Makanya di dalam al 'illah itu ada namanya al wasful munashib, al wasful mulaim. Maka disebutkan wasfun dzohirun dhobitun musytamilun alal ma'nal munashib li syar'iyatil hukmi. Itu yang disebut dengan 'illat. Maka syurutul 'illat itu bagaimana? pembahasan tersendiri. Maka Syaikh Dr Mustofa Syalabi, tahun 40an 42, menulis sebuah disertasi, judulnya ta'lilul ahkam. Jadi tanpa menguasai 'illah asabru wat taqsim, yang terkait dengan 'illat, ini tidak mungkin kita bisa memahami ada tidaknya mashlahat disitu itu. atau ada tidaknya mafasid. Maka di dalam kajian2 di timur tengah, khususnya untuk pasca sarjana, apakah dia al azhar atau di arab saudi, pembahasan tentang qiyas, itu adalah pembahasan yang dibebankan untuk anak2 pasca sarjana yang masuk jurusan ushul fiqh. Atau yang disebut dengan jurusan Syari'ah.
Nah ndak mungkin kita menguasai qiyas dengan seluruh permasalahanya, itu menjadi satu kajian yang menyeluruh, kita baru berbicara tentang maqosid itu. Baru nanti ada istilah yang disebut dengan sukutusy syari'. Syukutusy syari' ini menjadi penting, kalau ada kasus permasalahan keagamaan, yang tidak disebut secara tekstual, di dalam nushus asy syar'iyah, bukan berarti dia tidak ada, dan bukan berarti Alloh lupa, tidak. Maka dalam hadits sering kita menghafalkan,
innalloha ... wa syakatan an asy syaa rohmatan bikum ghoiro nisyanin, alla tad'afu anha.
Jadi ketika Alloh tidak menjelaskan Ab nya..itu adalah sebagai rahmat, inilah ruang kita. Inilah ruang lingkup kita, Alloh berikan keluasan untuk kita melakukan analisa, melakukan kajian2 yang disebut dengan al masykut 'anhu syari'. Kalau gak ada baru juga melalui istiqro, nah istiqro ini adalah satu penelitian, satu penelitian karena apa? karena seorang mujtahid ketika dia mencari satu 'illat, daripada satu hukum, sebab daripada satu hukum, tidak sekali dia lakukan, dia lakukan berulang kali untuk memastikan itu benar atau tidak. Maka 'illat secara bahasa sering diartikan ma-kudun minal 'ilal ba'da nihal. Wahuwa mu'awadun ba'da syurq, marrotan ba'da ukhro.
Jadi ada seseorang minum dia, berkali2 dia minum, itu juga seorang mujtahid melakukan kajiannya untuk mencari satu 'illat. Nah apalagi dalam kajian fiqh, nanti ada istilah yang disebut dengan al ashbah wan nadhoir. Ada al furuq al fiqhiyah, dan dan seterusnya. Maka ketika abu musa al asyari, yang pernah menjadi salah satu gubernur ketika masa Umar Rodhiyallohu 'anhumaa, Sayyidina Umar pernah menuliskan surat kepada beliau, surat yang begitu panjang, yang intinya itu mengingatkan kepada Abu Musa Al Asy'ari rodhiyallohu 'anhu untuk memahami suatu kasus itu secara jeli dan tajam. Maka beliau katakan al fahma fima yakhtaliju fi shodrik, min maa yablug bi kitabi was sunnah, fil amtsala wal asybah, tsumma fil umuro bir ro'yi. ujungnya apa? fa'mad ila ahabiha illalloh, wa ashbahil haqi fi ma tarok. Ini kemudian menjadi ilmu tersendiri, an nasbah wan nadhoir, fil fiqh. Maka buku2 qowaid fiqhiyah, itu banyak ditulis dengan judul al ashbah wan nadhoir, khususnya di kalangan madzhab asy syafi'i. Yang sebelumnya ada yang menulisnya dengan istilah furu', al ashbah wan nadhoir ini tidak hanya di dalam fiqih saja, ada fit tafsir, fil balaghoh, ada fin nahwu, begitu juga al furu', ada al furu' al lughowiyah, al furu' al fiqhiyah al furu' al ushuliyah, dan dan dan seterusnya.
Jadi satu ikatan yang luar biasa, yang dibuatkan oleh para ulama sehingga terjawablah semua permasalahan umat. Maka Imam Asy Syafi'i rohimahulloh, yang kita kenal sebagai seorang yang luar biasa itu di dalam ar risalahnya itu mengungkapkan satu hasil di dalam kajianya. Di dalam faqrohyang ke 55, beliau katakan
قال الإمام الشافعي
فليست تنزلُ بأحدٍ من أهل دين الله نازلةٌ
إلا وفي كتاب الله الدليلُ على سبيل الهدى فيها
falaisat tanzilu bi ahadin min ahli dinillah nazilatun, illa wa fi kitabillah, DALIILU 'ala sabilil huda fiihaa
Jadi Al Quran itu sudah lengkap, tinggal kita bisa tidak? mendekati kelengkapan itu, mengetahui isi dan kandunganya yang begitu luas itu. Karena jati diri Al Quran sudah begitu,
قل لو كان البحر مدا
دا لكلمات ربي لنفد البحر قبل أن تنفد كلمات ربي ولو جئنا بمثله مددا
Yang ditafsirkan oleh Surat Lukman ayat ke 27
ولو أنما في الأرض من شجرة أقلام والبحر يمده من بعده سبعة أبحر ما نفدت كلمات الله إن الله عزيز حكيم
Jadi kalau ada permasalahan baru, tidak secara tekstual ditemukan di dalam al Qur-an, jangan disalahkan al qur-anya, yang disalahkan itu kitanya gak bisa mencari isyarat2 yang ada di dalam al quranul karim. Maka ketika seseorang untuk mendekati al quran, untuk bisa menafsirkan isi dan kandunganya, dibuat juga batasan2 yang disebut dengan syurutul mufassir. Karena al quran itu global, yang merincinya yang menjelaskan takyif al muthlaqnya, takhsishul 'amnya adalah as sunnah an nabawiyah, melalui firman Alloh Swt,
بالبينات والزبر وأنزلنا إليك الذكر لتبين للناس ما نزل إليهم ولعلهم يتفكرون
Maka diyakini, bahwa penjelasan nabi itu adalah bagian gak terpisahkan daripada wahyu. Maka dibuatlah, ulama2 mengumpulkan berapa banyak sih? ilmu pengetahuan yang harus dikuasai oleh seseorang yang ingin mendekati al quran. Imam Az Zarkasyi katakan 47, tapi bisa lebih daripada itu. Sampai pada Imam As Suyuthi sampai 80. Tapi ingat, satu ilmu saja dari cabang ilmu itu, kalau kita tekuni dan dipelajari dengan baik, insyaalloh sebelum kita selesai mempelajarinya, kita sudah innalillahi wa inna ilaihi roji'un duluan. Maka gak benar kalau orang katakan, saya sudah selesai mempelajari ilmu al quran. As Sunnah juga begitu, maka dalam keilmuan, ibnul akfani, bagikan ilmu itu disebutkan ilmu hadits khushusnya riwayatan wa diroyatan. Beliau seorang tokoh besar, 749 H, dia menulis buku namanya irsyadul qosid, ila asnal maqosid, membagi itu riwayatan wa diroyatan. Berapa banyak? jelas cabangnya lebih banyak dari ilmu al quran itu sendiri. Jadi teksnya harus dikuasai, keilmuanya juga harus dikuasai. Ini bagian yang gak terpisahkan ini daripada ijtihad.
Disamping bahasa, maka seorang mufassir, dibuat persyaratanya aiyakunna aliman bi haditsin nabawi asy syarif, riwayatan wa diroyatan. aiyakunna bi lughotil arobiyah, Apa lughotul arobiyah itu? an nahwu wasy syorfu, wal balaghotu, wal bayanu wal badi', wal ma'ani, wal istiqoqul kalimah dan seterusnya... sampai dengan terakhir. Kalau ijtihad ada 15, disini paling tidak ada 15. Nah begitu juga dengan yang lain2nya. Jadi ndak mungkin kita, tidak mengerti bahasa arab, kita bisa melakukan ijtihad.
Disamping, kita harus mengetahui al qowaid al fiqhiyah, dan al qowaid al ushuliyah. Jadi maka al ijtihad al maqosidi, itu yang akan menjadikan maqosid itu sebagai sumbernya. Jadi dia itu gabungan ushuliyun fiqhiyun. Inilah yang disebut dengan ijtihad maqosidi ini, yang ditawarkan oleh Muhammad Nuruddin Al Khodimi itu. Luar biasa, ketika beliau membahas itu ketika kita yang sudah banyak belajar, baca buku itu jadi bodoh lagi, bahwa agama islam dengan sumbernya, terutama dari aspek maqosidnya ini luar biasa. Maka tidak mungkin kita untuk melakukan satu langkah untuk menuju ijtihad itu, tanpa kita menguasai al maqosid asy syari'iyah Itu.
Ini mungkin pengantar dari saya, kalau saya ngomong saja nanti gak selesai2. Ini pelajaran satu semester ini, disampaikan dalam satu jam, gak mungkin. Nanti kita bisa share, refferensi2 yang diperlukan apalagi kita sedang menghadapi pandemi korona ini yang luar biasa, dan maqosid syar'iyah itu sangat berperan di dalamnya. Tadi sudah disinggung oleh pak walikota, sudah menyampaikan itu. Bahwa apa yang kita lakukan atau yang kita ambil sebagai satu kesimpulan hukum itu tidak lepas daripada al maqosid asy syar'iyah.
Terimakasih ustadz, mungkin itu pengantar dari saya.
--------
Kita tadi memang belum sampai kepada dhowabitnya ya, Jadi ketika kita berbicara dhowabit al ijtihad al maqosidi maka tidak bisa lepas dengan dhowabitul maslahah. Khususnya di kajian ushul fiqih yang menggunakan kajian maslahah mursalah sebagai sumber. Jadi mursalahnya itu yang menjadi kajianya, jadi kalau maslahah 'ammah (umum) semuanya pakai, itu hanya perbedaan.
Jadi yang pertama memang tidak boleh dia adamu mu'arodhoti al maqosid al maslahah itu lin nashi au tafwidiha lahu. Jadi dia gak boleh berbenturan, maka pertanyaanya apakah memang al 'adilah asy syar'iyah itu tata'arodhu ba'duhaa ba'dhon? Ini sementara orang mengatakan ada benturan, padahal kan sumbernya kan satu, Al Quran ya hanya Alloh yang menurunkan, hadits nabi ya hanya nabi yang berbicara. Nah maka, disini ini dibuatkan oleh ulama tatacara ketika melihat secara lahiriyahnya berbenturan, yang disebut dengan at ta'arudh wat tarjih itu. Kalau dalam ilmu hadits itu disebut dengan istilah ilmu ikhtilafil hadits, atau ilmu mukhtalifil hadits, ketika berbicara tentang ikhtilafil hadits, ya Imam Asy Syafi'i juga di depan, nulis buku dengan ikhtilafil hadits 2 jilid. Dilanjutkan oleh ibnu quthaibah ad dinawari dengan kitab takwil mukhtalifil hadits yang wafat 276H. Kemudian dilanjutkan oleh Ath Thohawiy 321H dengan apa? mushilul atsar. Disebutnya mushilul atsar, nah ibnu fauroq 406H beliau mengatakan mushilul atsar wa bayanuhu. Jadi perlu dijelaskan, jadi disebut dengan hadits2 muskil.
Nah ulama buatkan satu konsep, bagaimana menyikapi yang ada ta'arudhnya secara lahiriyah ini. Kalau madzhab syafi'i, dia nawarkan yang pertama apa? kompromi dulu. Aj Jam'u wat taufiq. Jadi kompromi dulu, dikompromikan........ yang ketiganya itu disebut dengan tarjih. Tarjih itu memilih, kalau endak juga, itu namanya tawaqquf, tawaqquf itu bukan karena kita bodoh bukan, tawaqquf itu kita hati2 di dalam memahami nash. Maka syaikh ali jum'ah menulis satu buku at tawaqquf inda ushuliyyin.
Nah berbeda dengan madzab hanafi, mengatakan ketika terjadi demikian itu, langkah pertamanya tarjih dulu, baru dicari nashkh, baru dicari kompromi. Ini perbedaan, perbedaan2 seperti itu terjadi, dan bukunya bisa dibaca banyak sekali. Kalau di Al Azhar itu ada badron abul 'ainaini badron. Dia tulis satu buku al 'adillah asy syari'iyah al muta'aridhoh wat tarjihu bainaha. Adalagi Ustadz Doktor Ibrahim al hafnawi, dia tulis juga buku at ta'arudh wat tarjih, 2 jilid ditulisnya. Ada aj jam'u wat taufiq juga. Ditulis temen2 lain itu ada yang satu jilid ada yang dua jilid. Sampai dengan fil hudud wal 'uqubat, ada dengan qiyas. Kemudian tidak juga dia berbenturan dengan ta'lil, kemudian mu'arodhoti bil 'urf ash shohih. Maka tadi disebutkan dia, menyeluruh, maka tidak ada teks yang berbenturan.
Jadi berbenturan itu apa? kata badron abul 'ainin badron, itu li jahlinaa bihi, karena kebodohan kita saja. Di dalam al quran kita temukan, misalnya
innalloha laa yaghfiru an yusyroka bihi, wa yaghfiru maa duna dzalika li man yasyaa.
dua kali dalam surat an nisa, tapi begitu dalam surat az zumar,
innalloa yaghfirudz dzunuba jami'a.
Jadi kalau mas baha tadi menekuni bahasa tadi, adz dzunub, al jam'u al mu'arrofu bi al, berarti yufidul istighro'. Berarti dosa besar, dosa kecil, Alloh akan ampunkan. Nah karena al quran ini saling menafsirkan, maka bagi siapa yang akan diampunkan? innalloha laa yaghfiru, itu li man lam yathub, bagi yang tidak bertaubat, Alloh gak akan ampunkan, tapi bagi orang yang bertaubat, dia akan diampunkan oleh Alloh. Maka ayatnya nanti ada di dalam surat al furqon,
walladzina laa sampai dengan illa man taaba wa aamana wa 'amila 'amalan sholiha....
fa innalloha yathubu man taaba.
Nah ketika berbicara tentang nash, harus dibedakan itu, jadi ada lanjutanya mungkin ada nash yang qothi ada nash yang dzonni. Yang qothi itu yang tidak perlu takwil, yang dzonni itu yang perlu ditakwil. Mungkin nanti pembahasan2 yang berikutnya.
Kemudian pertanyaan yang kedua, selain imam malik, memakai istilah al maslahah al 'ammah. Kalau imam malik memakai nya dengan al maslahah al mursalah. Karena ada mu'tabaroh ada mulghoh, makanya ada mursalah. Mursalah itu artinya laa mu'tabaroh wa laa mulghoh. Jadi ketika berbicara jam'ul quran misalnya, jam'ul quran jaman nabi gak ada. Nabi tidak pernah melarang, dan juga tidak pernah memerintahkan. Yang diperintahkan kan ditulis, mengumpulkanya tidak. Maka dijadikanlah, ketika umar bin khothob rodhiyallohu 'anhu, tadi banyak diceritakan kyai tadi itu, ketika peperangan al yamamah tahun 12, banyak gugur para penghafal quran. Maka Sayyidina umar mendatangi abu bakar sebagai kholifah. Kalau kita biarkan begini, generasi sesudah kita, mereka gak punya al quran. Karena bukti dokumenya gak ada, walaupun hafalanya ada. Semua di dadanya para shohabat itu. Terus abu bakar gak berani, gak berani dia. Dari iraq juga datang utusan abdullah bin mas'ud, hudzaifah ibnul yamani, jangan katanya, Rosululloh gak pernah perintahkan itu. Tapi Sayyidina umar dengan keyakinanya, laa yazallu yuroddiduhu yuroqni'uhu, akhirnya abu bakar sebagai kholifah, mengambil satu kesimpulan, bentuk tim. Maka adalah al quran seperti sekarang ini. Kalau gak ada pertimbangan maslahah, gak ada kita temukan al quran yang seperti sekarang ini.
Nah Imam Asy Syafi'i di dalam ar risalahnya, ar risalah ini memang kitab yang luar biasa ya. Jadi sampai sekarang itu yang mau mensyarahkan bingung, masuknya darimana gitu, karena luasnya ilmunya imam asy syafi'i. Sebagai matan, ta'liq, ada yang berani menta'liq Imam Asy Syafi'i? pergi membuat syarah? Nah inilah tradisi itu, seperti dikatakan pak kyai, ulama2 dulu itu, membuat karyanya pertama dalam bentuk matan. Jadi ketika matanya perlu penjelasan, dibuatkannya syarah. Ada yang kurang jelas syarah, dibuatkan hasiyah. Hasiyah gak jelas juga, ada hawamid, ada taqrirot, dan seterusnya. Maka kita kalau belajar, buku2 yang lama2 itu kalau alfadz nya sulid kita pahami, ya kita cari syarahnya. Kita cari syarahnya, kita cari hasiyahnya, kita cari (dan selanjutnya). Dan beli bukunya gak harus ekonomis, jadi kalau beli bukunya satu2, disamping tidak ekonomis, tidak praktis dia. Kita misalnya beli buku, minhajul wushul, sendiri. Syarahnya nihayatus sur sendiri misalnya. Manahijul uqul, sendiri hasiyahnya. Kita buat sendiri2, melihatnya matanya, syarahnya kesini. Tapi kalau belinya satu, matanya di atas, syarah, hasiyah, dan dan seterusnya itu.
Makanya diyakini seperti tadi kyai katakan, ushul fiqih itu, sudah ada di jaman nabi, dan nabi sendiri al ushuliyul awal. sudah ada zaman shohabat, sudah ada. Maka yang dituliskan oleh Thol'ahji, yang sudah meninggal beberapa bulan yang lalu, dia kumpulkan namanya mausu'ah fiqh utsman bin affan. ibrahim an nakhoi, a'isyah dan seterusnya. Untuk memberikan apa? hasil fiqh para shohabat tidak ada yang lepas memperturutkan akal semata. Tapi pasti ada arahnya, dan didasari oleh ilmu ushul fiqih itu.
Maka saya dulu, ketika saya S3 itu, saya sebelumnya mengajukan judul, sebelum saya mentahqiq buku al hawi al kabir, lil imamil mawardi, saya mengajukan mengajukan satu judul dulu, fatawa asy sayyidah a'isyah wa dirosatuha tahtadhouil qowaidil ushuliyah. Saya sudah kumpulkan fatawa sayyidah a'isyah itu.
Asy syari'atul islamiyah itu apa? wa makarimuhaa. Disebutnya makarrim, kalau al qofal asy syakhsil kabir. Ada lagi Mahasinusy Syari'ah, jadi istilah boleh beda, seperti dikatakan oleh pak kyai tadi, tujuanya sama. Maksudnya itu adalah maslahah. Maslahah itulah namanya maqosid. Maka buku2 sekitar maqosid dan maslahah, saya punya yang besar2 seperti begini ini. Itu ada 63 yang besar2, yang kecil2 semua yang berbicara tentang maslahah, yang berbicara maqosid, alhamdulillah saya dulu dikenal sebagai kutubuku, maka saya kumpulkan. Jadi ilmu itu tidak hanya mendengar, jadi ada datanya. Maka saya mendapatkan al muwafaqot itu dari seorang guru yang luar biasa, namanya syaikh ahmad fahmi abu sunnah. Jadi beliau dapat gelar doktor pada masa syaikh mustofa al maroghi, tahun 40an, itulah beliau doktora, sekaligus ustadziyah. Itu bukunya al 'urf wal 'adah fi ro'yil fuqoha. Jadi bacanya sebaris, tapi kuliahnya dua jam. Jadi dia hafal maqosid itu, Allohu yarham, dia hafal. Beliau adalah guru saya yang terakhir meninggal dunia, ya guru saya itu. Syaikh Ahmad Fahmi abu Sunnah Al Hanafi. Jadi pembahasan yang dipastikan tidak akan keringnya, ketika kita berbicara tentang aspek maslahah dari aspek manapun.
---------
.....Syar'u man qoblana. Karena nabi katakan, dhohu.. fa innaha min sunnati abikum ibrohim. Jadi hukumnya memang tidak wajib, hukumnya sunnah. Nah kalau hukumnya sunnah, kita mau mengambil yang maslahahnya apa? tapi jangan mengubah tadi itu, dhohu itu qurban, qurban memang harus menyembelih. Jangan mengubah itu, yang istilahnya dilalatul alfadz. Wan Har, itu juga arti sembelih, sembelih juga ada aturan. Ayam juga sembelih juga, tapi tidak dinamakan qurban. Maka ada persyaaratanya ini, ini. Nah ketika kita memang tidak mampu, Rosululloh itu memang memotivasi, selama kita punya kemampuan, man lahu sa'ah, fa laa yudhohi, fa laa yuqrobanna mushollanaa. Yang punya kemampuan, yang punya kemampuan, tapi dia tidak qurban, jangan dekati, jangan datang2 ke masjid, atau musholla, gak usah lah. Kalau yang punya kemampuan tadi, kalau yang memang tidak punya kemampuan. Karena kambing juga mahal, sapi juga mahal gitu kan. Diambil jalan tengah tadi, tapi jangan niatnya tadi, nawaitunya ketika memberikan 500rb, 200ribu kepada seseorang, dia niatkan ini qurban saya, gak boleh. Tadi dikatakan sebagai apa? sebagai musyari' baru itu.
Nah yang kedua tadi yang pertentangan itu, jadi
- hifdzud din,
- hifdzun nafs.
- hifdzun nafsm
- hifdzul mal,
itu di dalam dhowabitnya memang ada, disarankan
dhowabit al ijtihad al maqosidi itu adamu tafwidhiha li maslahati ahammu minhaa au musawiyatun laha.
Jadi gak boleh dia diubah2 gitu, jadi mana yang penting, itu yang didahulukan, aham (yang lebih penting). Atau yang sama saja itu perlu ada satu ijtihad tersendiri. Jadi kita tidak sholat di masjid, itu dalam rangka apa? dalam rangka menyelamatkan agama kita, dalam rangka menyelamatkan nyawa kita juga. Tapi ada yang nekat, ketika ada masa2 zona merah itu, mau juga di masjid, pulang dari masjid, berapa banyak yang terpapar korona ini. Jadi tadi betul, jadi euforia kenapa kita diatur dengan protokol begitu ketat? karena hifdzun nafs, karena kalau kita terpapar, kita membunuh orang, nah termasuk kulliyatul khoms adh dhoruriyat. Jadi Wa laa tulqu bi aidiikum ilat tahlukah.. ini semua menjadi dasar hukum.
Nah sekarang, ulama2 sekarang mana menentukan illat, gak ada?? illat yang lama2 juga. Berarti kita gak pernah mengaji fiqh nawazil, khodhoya mu'asyiroh yang berjilid2, jadi buhutsun fi masailil fiqhiyah, yang berjilid2 banyaknya. Ada Syaikh Romadhon Al Buthi, ada Syaikh Wahbah Az Zuhaili, ada dan lain2 sebagainya. Itu bagaimana menjawab masalah2 baru? kalau illadnya gak ketemu. Gak mungkin, mereka lakukan itu, hanya dengan kajian2nya, yang memang dulu itu ketika berbicara tenang qiyas, rukun qiyasnya apa? al ashlu al far'u al hukum dan al illat itu, mana al illatnya? kajian2nya, tadi juga disampaikan apakah qiyas bisa dijadikan sumber hukum, jelas kalau menurut kita iya. Yang tidak mengakui qiyas dan ijma' itu hanya madzhab dzohiri, jadi ibtholul ijma' ibtholul qiyas. Karena dia tekstual, jadi ketika ... tanaza'tum fi syai in farudduhu ilallohi wa rosul, itu ketika (membaca itu) gak ada farudduhu ilal qiyas, fa rudduhu ilal ijma' itu gak ada, karena gak ada gak bisa dijadikan sebagai? nah itu pola pikirnya mereka, tekstual. Jadi kalau ada ulama2 yang bermadzhab tekstual, silahkan. Pakai sendiri, jangan maksain orang. Sekarang ini banyak yang memahami tekstual, dia apa? memaksakan orang lain supaya seperti dia, (tidak begitu). Agama ini agama yang seperti dikatakan ustadz baha tadi, mudah dicerna dan dia pasti sesuai dengan fithrahnya manusia.
Maka di dalam surat al an'am ayat 38 itu, Ustadz baha yang selalu menekankan bahasa, kenapa kenapa tidak berfirman minasy syai- kok dia nakiroh, tidak makrifah. Dibuatlah kaidahnya oleh para ulama an nakirotu fi syiyaqin nafi, ta'ummu wa lau kaana qolilan au katsiron. shoghiron au kabiron, halan au mustaqbalan, maa tarokna fi hadzal kitab. Jadi saya bersyukur, mas baha ini sering mengkaji tentang balaghoh, asybah wan nadzohir, al wujuh wan nadzohir, mufrodat (afrod). Ini sekarang ilmu ini kalau gak kita angkat ke permukaan, dia akan hilang. Ibnul jauzi beliau menulis nuzatul ainin nadzir bil asybah wan nadzohir. Ibnu Farraj menulis afrod kalimatul quran. Kita melihatnya satu ayat, satu kata. Ternyata dia ilmu mubhammat ayat ini dijelaskan oleh ayat yang lain. Sehingga ada tafsirul quran bil quran, ada tafsirul quran bis sunnah an nabawiyah, dan seterusnya, yang disebut at tafsir bil ma'tsur. Jadi kalau ada al ijtihad al maqosidi, ada juga at tafsir al maqosidi. Sekarang sudah ditulis, at tafsir al maqosidi, jadi kalau ada ijtihad maqosidi, tafsir juga maqosidi. Ada juga yang menulis maqosidul quran. Syaikh Yusuf Al Qordhowi dan lain sebagainya seugah menawarkan itu, dan inbilah menunjukkan kajian keislaman terus dan terus akan berkembang. Apalagi yang berkaitan dengan hukum, fiqhn nawazil, fadhoya mu'asyiroh dan seterusnya yang dikumpulkan oleh ulama, hasil karyanya.
Kalau kita misalkan ingin membaca yang mu'amalat, ada ensiklopedinya sekarang, jelas. Mausu'ah, fiqil mu'amalat ada sekian jilid. Mau mausu'ah apa saja sekarang sudah ada kita tinggal mengakses saja, ke internet. Dan tawashul kepada syaikhona youtube, Al fatihah ila syiakh youtube, itu sudah langsung dapat semua buku2 itu. Nanti saya sharekan, saya coba share kan nanti buku2 tentang maqosid itu. Yang saya punya saya share semuanya. Terutama nanti ada satu buku namanya al maqosid asy syari'iyah al maqosid as sughro namanya, karyanya ibnu abdis salam, itu ditahqiq oleh kawan saya orang jordan. Di muqoddimahnya, ada sejarahnya. Kadang kajian tentang maqosid ini terkadang tidak mengungkap sejarah. langsung mainnya penaltinya saja, perkembanganya tidak. Saya juga sudah tulis banyak, tulisan saya pergerseran sampai dengan para ilmuwan2 modern sekarang. Ini adik2 kelas saya semua, mereka lebih aktif menulis, karena mereka tugasnya dengan tempat yang berbeda beda, menghasilkan karya yang berbeda beda juga.
-----
Yang sering menamakan diri liberal sehingga menuduh Sayyidina umar juga berani melawan nash. Muallafa qulubuhum... bukan melawan nash, bukan, karena ilatut ta'l;ifnya gak memang gak ada. Orang yang masuk islam itu orang yang kaya2. rumahnya rumah elit semua, mobilnya saja 14, ban nya berapa banyak? kalau 14? masak dikasih sembako? marah dia. Jadi disimpulkan itu, hukum itu al hukmu ma'a illati wujudan wa adaman. Jadi jangan dikatakan bahwa Umar berani melawan nash, nanti kita berurusan dengan Sayyidina Umar bin khotthob di akhirat. Gak ada.. itu, jadi katanya melawan nash, gak ada itu. Saya wanti2 hati2 yang liberal2 boleh berfikir liberal, jangan masuk area hukum, halal haram boleh tidak jangan masuk ke area itu, Ketika kita gak punya ilmu, menentukan halal haram, itu gak selesai di dunia, ndak selesai di dunia. Menjadi musyari' di dunia, nanti kita berhadapan di akhirat. Maka al hawa itu harus kita singkirkan.
Maka ayat 71 Al Mukminun, mengingatkan kita....
Jadi manhaj Umar bin Khotob fit tasyri' banyak ditulis. Menjadi menarik kita ketika mengkaji manhaj Umar Bin Khotob fit tasyri' ini. Bertambah banyak kita membaca, bukan bertambah banyak kita pinter, tapi bertambah kita menjadi bodoh, maka beruntunglah orang yang suka membaca, gak boleh putus kita membaca, harusterus dan terus membaca. Karena ilmu itu berkembang, harus kita ikuti, perkembangan itu. Jadi tokohnya ada sekarang itu ada namanya
bin bayyah, ada roisuni, bukun2nya sudah terbit semua.
Ada dalilul mubtadiin, belajar maqosid dari mubtadiin dari permula. Ada semua buku2 itu, dan nanti semua saya share kan. Semoga menjadi bermanfaat buat kita semuanya. Terimakasih Wassalamu'alaikum warohmatullohi wa barokatuh.
Dan ini sebagian dari buku2 itu. Ini ada Ats Tsabit wal Mutaghoyyir. Ini pemikiran Imam Asy Syathibi juga, kalau al ijtihad al maqosidi, ini bukunya yang ini... itu tulisan nuruddin khodimi. Ini yang kita bicarakan tadi. Kemudian hubungan ijtihad al maqoshidi dengan dalil2 syar'i, itu ada yang ditulis oleh bin Bayyah yang sekarang jadi mufti di Emirat. Dan lain2.. terimakasih Ustadz. Mohon maaf, pdf ini, saya kirimkan pdfnya.
Video ini diambil dari sini
Comments
Post a Comment